10 Okt 2013

Sejarah Banten

 Sejarah Kabupaten Serang tidak dapat dipisahkan dari sejarah Banten pada umumnya, karena Kabupaten Serang merupakan bagian dari wilayah Kesultanan Banten yang berdiri pada abad ke-16 dengan pusat pemerintahannya terletak di Serang (sekarang menjadi bagian wilayah Kota Serang)
.
Sebelum abad ke-16, berita-berita tentang Banten tidak banyak tercatat dalam sejarah, konon pada mulanya Banten masih merupakan bagian dari kekuasaan Kerajaan Sunda. Menurut salah satu versi sejarah, dahulu ketika tanah Sunda masih dalam kekuasaan Kerajaan Pajajaran (zaman Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi : 1482-1521 M), di Banten sudah terdapat 2 (dua) buah kerajaan, yaitu Kerajaan Banten Girang dan Kerajaan Banten Pasisir. Banten Girang dipimpin oleh Adipati Suranggana, dan Banten Pasisir dipimpin oleh Adipati Surosowan. Keduanya itu konon adalah putra Prabu Siliwangi buah perkawinannya dengan Dewi Mayang Sunda.
Adipati Surosowan mempunyai seorang puteri bernama Kawung Anten yang kemudian diperistri oleh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) dari Cirebon. Dari pasangan ini terlahir seorang anak laki-laki bernama Sabakingking.
Sebagai putra Sunan Gunung Jati, Sabakingking mewarisi kepandaian ilmu agama Islam dan ahli dalam memerintah sebuah kerajaan. Maka setelah berhasil menaklukkan Banten Girang pada tahun 1525, dan mempersatukannya dengan Banten Pasisir, Sabakingking mendirikan kesultanan Islam di Banten yang pertama. Atas prakarsa SyarifHidayatullah, pusat pemerintahan yang semula bertempat di Banten Girang dipindahkan ke Banten Pasisir. Penobatan Sabakingking dengan gelar “Maulana Hasanuddin” sebagai pemimpin dan yang meng- Islam-kan Banten, dilakukan pada tanggal 1 Muharram 933 H yang bertepatan dengan tanggal 8 Oktober 1526 M.
Pada masa Sultan Hasanuddin telah dibangun sebuah keraton sebagai istana kesultanan yang berfungsi sebagai pusat pemerintahan dan sekaligus merupakan pusat kota yaitu Keraton Surosowan. Keraton ini dibangun sekitar tahun 1552-1570, dan konon dikemudian hari melibatkan seorang arsitek berkebangsaan Belanda, yaitu Hendrik Lucasz Cardeel (1680–1681), yang memeluk Islam yang bergelar Pangeran Wiraguna. Dinding pembatas setinggi 2 meter mengitari area keraton sekitar kurang lebih 3 hektar. Surosowan mirip sebuah benteng Belanda yang kokoh dengan bastion (sudut benteng yang berbentuk intan) di empat sudut bangunannya. Bangunan di dalam dinding keraton tak ada lagi yang utuh. Hanya menyisakan runtuhan dinding dan pondasi kamar-kamar berdenah persegi empat yang jumlahnya puluhan.
Keraton Surosowan ini memiliki tiga gerbang masuk, masing- masing terletak di sisi utara, timur, dan selatan. Namun, pintu selatan telah ditutup dengan tembok, tidak diketahui apa sebabnya. Pada bagian tengah keraton terdapat sebuah bangunan kolam berisi air berwarna hijau, yang dipenuhi oleh ganggang dan lumut. Di keraton ini juga banyak ruang di dalam keraton yang berhubungan dengan air atau mandi-mandi (petirtaan). Salah satu yang terkenal adalah bekas kolam taman, bernama Bale Kambang Rara Denok. Ada pula pancuran untuk pemandian yang biasa disebut “pancuran mas”.
Kolam Rara Denok berbentuk persegi empat dengan panjang 30 meter dan lebar 13 meter serta kedalaman kolam 4,5 meter. Ada dua sumber air di Surosowan yaitu sumur dan Danau Tasikardi yang terletak sekitar dua kilometer dari Surosowan.
Strategi Sultan Hasanuddin (dan sultan Banten lainnya di kemudian hari) dalam mengembangkan ajaran Islam adalah dengan cara-cara yang sesuai dengan adat budaya masyarakat Banten pada masa itu, yaitu adu kekuatan dan penampilan ketangkasan yang dikemas dalam wujud permainan debus. Dengan demikian sedikit demi sedikit masyarakat Banten menyadari dan tertarik untuk mengikuti syariat Islam.
Situs kerajaan banten,peninggalan kerajaan banten
SITUS PENINGGALAN KERAJAAN BANTEN
Setelah Sultan Hasanuddin wafat pada tahun 1570, tampuk pemerintahan diteruskan oleh puteranya yaitu Maulana Yusuf sebagai Sultan Banten yang kedua (1570-1580), dan selanjutnya digantikan oleh Raja/Sultan ketiga, keempat, dan seterusnya sampai yang terakhir Sultan ke-21 yaitu Sultan Muhammad Rafiudin yang memerintah pada tahun 1809-1816.

Pada zaman kesultanan ini banyak terjadi peristiwa-peristiwa penting terutama pada akhir abad ke-16 (Juni 1596) di mana orang- orang Belanda dating untuk pertama kalinya mendarat di Pelabuhan Banten di bawah pimpinan Cornellis de Houtman dengan maksud untuk berdagang. Namun sikap yang kasar dari bangsa Belanda tidak menarik simpati pemerintah dan rakyat Banten sehingga sering terjadi perselisihan di antara orang-orang Banten dengan orang-orang Belanda. Sultan Banten yang bertahta pada saat itu adalah Sultan ke-4 yaitu Abdul Mufakir Muhammad Abdulkodir yang ketika itu masih bayi, sedangkan yang bertindak sebagai walinya adalah Mangkubumi Jaya Nagara yang wafat tahun 1602 dan kemudian diganti oleh saudaranya, Yudha Nagara.
Pada tahun 1606, Abdul Mufakir diberangkatkan ke Mekkah, Parsi, Mesir dan Istambul dan kembali ke Banten tahun 1607. Sementara Abdul Mufakir dianggap belum cukup dewasa untuk memerintah, maka pada tahun 1608 Kesultanan mengangkat seorang mangkubumi untuk memerintah Banten yaitu Pangeran Arya Ramananggala (1608-1624). Sultan Abdul Mufakir mulai berkuasa penuh dari tahun 1624-1643 dengan Ramananggala sebagai patih dan penasehat utamanya.

Sultan Abdul Mufakir Abdulkodir mempunyai putera yang bernama Abdul Ma’ali Ahmad Rahmatullah yang menjadi Sultan Banten ke-5 memerintah pada tahun 1643-1651. Sultan Banten ke-5 mempunyai putera yang di kemudian hari menjadi Sultan Banten ke-6 yaitu Abdul Fatah yang dikenal dengan julukan Sultan Ageng Tirtayasa. Dan memegang kekuasaan dari tahun 1651-1680. Pada zaman pemerintahannya, bidang politik, perekonomian, perdagangan, pelayaran, kebudayaan dan keagamaan berkembang pesat. Untuk memajukan pertanian rakyat Banten, pembangunan yang paling terkenal pada masa Sultan Ageng Tirtayasa adalah pembangunan irigasi. Demikian juga kegigihannya menentang penjajahan Belanda.

Pada masa Sultan Ageng Tirtayasa sering terjadi perlawanan atau peperangan dengan kompeni Belanda yang pada waktu itu berkuasa di Batavia. Dengan cara politik adu domba dengan puteranya yaitu Sultan Haji Abdul Kohar yang memihak kepada Belanda, akhirnya dengan memperalat puteranya itu, kompeni Belanda dapat melumpuhkan kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa.
Sepeninggalnya Sultan Ageng Tirtayasa yang wafat pada tahun 1692 di tahanan kompeni Belanda di Batavia, kebesaran Banten mulai redup dan berakhirlah masa keemasannya karena sultan-sultan Banten selanjutnya sudah semakin dipengaruhi oleh kompeni Belanda sehingga kedudukan pemerintahan Kesultanan Banten semakin goyah dan lemah. Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Ishak Zainul Muttaqien (1805-1808) dan Sultan Muhammad Aliyuddin II (1808- 1810) terjadi pengorbanan jiwa dan kerja paksa rakyat Banten oleh Gubernur Jenderal Daendels saat mendirikan pangkalan angkatan laut di Ujung Kulon. Dan kemudian ketika Belanda bermaksud memperlancar mobilisasi persenjataan serta rempah-rempah telah dibangun jalan dari Anyer sampai Panarukan Banyuwangi yang pada saat itu dapat menyingkat perjalanan 40 hari menjadi 6 hari. Pembangunan jalan sepanjang 1000 KM ini telah mengorbankan dan menindas habis- habisan rakyat Banten sebagai tenaga kerja paksa.
Tahun 1816 kompeni Belanda di bawah pimpinan Gubernur van der Capellen datang ke Banten dan mengambil alih kekuasaan Banten dari Sultan Muhammad Rafiudin. Selanjutnya, Belanda membagi wilayah Banten menjadi tiga bagian (Kabupaten) yaitu Banten Lor (Serang), Banten Kidul (Lebak) dan Banten Kulon (Caringin) dengan kepala negerinya disebut regent (bupati). Sebagai regent pertama untuk Serang diangkat putera kesultanan yaitu Pangeran Arya Adisantika (1816- 1827) dengan pusat pemerintahan bertempat di Keraton Kaibon, Kasemen. Sedangkan untuk Lebak diangkat sebagai regent Pangeran Jamil Senjaya (1816-1830). Dan untuk Caringin diangkat regent Mandura Raja Jayanegara (1827-1840).

Pusat pemerintahan Serang di Keraton Kaibon mengalami beberapa kali penghancuran akibat peperangan. Penghancuran keraton oleh kompeni Belanda juga dilakukan terhadap pusat pemerintahan Keraton Surosowan dan proses penghancuran berlangsung sampai dengan tahun 1832. Sisa reruntuhan keraton yang masih bisa dipakai, konon kemudian dibawa ke Serang untuk membangun gedung-gedung Belanda dan diantaranya yang kini menjadi Pendopo Gubernur Banten dan Pendopo Kabupaten Serang.   Tanggal 3 Maret 1942 tentara Jepang masuk ke daerah Serang melalui Pulau Tarahan di pantai Bojonegara. Jepang mengambil alih keresidenan yang waktu itu dikuasai oleh Belanda, sedangkan bupatinya tetap orang pribumi dijabat oleh RAA Djajadiningrat. Kekuasaan Jepang berlangsung selama kurang lebih 3,5 tahun.
  Pada tahun 1945 setelah Jepang menyerah kepada sekutu, di Serang terjadi perebutan senjata antara Kempetai (Jepang) dengan rakyat dan orang Indonesia yang menjadi tentara Jepang. Tentara Jepang kemudian berhasil diusir meninggalkan Serang. Sementara di Jakarta pada tanggal 17 Agustus 1945 diproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
Setelah proklamasi kemerdekaan, kekuasaan keresidenan beralih dari tangan Jepang kepada Republik Indonesia, dan sebagai residen pada waktu itu adalah Tb. Ahmad Chotib dan Bupati Serang adalah K.H. Syam’un. Selanjutnya untuk jabatan camat banyak diangkat dari kalangan ulama.
Pada tahun 1946/1947 terjadi Agresi Belanda I. Banten/Serang menjadi daerah blokade masuknya serbuan Belanda, dan sempat terjadi putus hubungan dengan pusat pemerintahan di Yogyakarta. Pada saat itu daerah Banten atas izin dari pemerintah pusat mencetak uang sendiri yaitu Oeang Republik Indonesia Daerah Banten (ORIDAB).Pada tanggal 19 Desember 1948, terjadi Agresi Belanda II tentara Belanda berhasil masuk ke daerah Banten/Serang selama satu tahun, dan setelah Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949, Belanda kembali meninggalkan Banten/Serang. Selanjutnya Serang menjadi salah satu daerah otonom Tingkat II di wilayah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.
Sejak tahun 1945 hingga sekarang, di Serang tidak pernah terjadi peristiwa-peristiwa makar dan tidak pernah terpengaruh oleh gerakan ekstrim kiri (PKI) maupun ekstrim kanan (DI/TII).
Berdasarkan sejarah tersebut, pemerintahan di Serang telah mengalami empat kali peralihan kekuasaan yaitu:
  1. Pemerintahan kesultanan Banten selama 290 tahun (1526-1816)
  2. Pemerintahan Hindia Belanda selama 126 tahun (1816-1942)
  3. Pemerintahan Jepang selama 3,5 tahun (1942-1945)
  4. Pemerintahan Republik Indonesia sejak tahun 1945
Pengangkatan Maulana Hasanuddin sebagai Sultan Banten pertama pada tanggal 1 Muharram 933 H yang bertepatan dengan tanggal 8 Oktober 1526 M, oleh Pemerintah Kabupaten Serang diresmikan sebagai Hari Jadi Kabupaten Serang berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 17 Tahun 1985 yang ditetapkan pada tanggal 6 Agustus 1985 dan diundangkan dalam lembaran daerah sejak tangal 20 Agustus 1985.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar